This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 29 September 2010

Antara Sulaiman dan Qarun


Manusia sangat menyukai kesenangan dunia, baik berupa kesehatan, harta, keturunan, ataupun kedudukan. Mereka sangat membanggakannya dan menjadikannya sebagai parameter kesuksesan hidup. Oleh sebab itu mereka sangat bersedih dan bahkan berputus asa tatkala kesenangan itu lenyap darinya. Mereka tidak bisa menjadi sosok hamba yang bersabar ketika mendapatkan musibah yang ditakdirkan-Nya.

Sebaliknya, tatkala berhasil mendapatkan kembali nikmat dunia yang sebelumnya luput darinya, mereka merasa seolah-olah dirinyalah orang yang paling berhak menikmatinya. Mereka juga meremehkan dan melecehkan orang lain yang ada di sekitarnya karena tidak memiliki ‘kemuliaan’ seperti yang didapatkannya. Mereka pun ternyata tidak bisa menjadi sosok hamba yang pandai bersyukur kepada Rabbnya atas nikmat yang telah dilimpahkan oleh-Nya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian (rahmat itu) Kami cabut kembali, pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Dan jika Kami berikan kebahagiaan kepadanya setelah ditimpa bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata; ‘Telah hilang bencana itu dariku.’ Sesungguhnya dia (merasa) sangat gembira dan bangga, kecuali orang-orang yang sabar, dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud: 9-11).

Di dalam ayat yang mulia ini, Allah menceritakan tentang tabiat buruk manusia yang bodoh lagi suka melakukan kezaliman. Tatkala Allah menganugerahkan kepadanya sebagian dari rahmat-Nya berupa kesehatan, rezeki yang melimpah atau anak-anak yang menyenangkan hati dan semacamnya lalu Allah pun mencabut hal itu darinya, dia bersikap putus asa dan berpangku tangan saja, dia tidak mengharapkan pahala dari Allah (atas musibahnya). Tidak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa kelak Allah akan mengembalikan sesuatu yang hilang itu kepada dirinya, menggantikannya dengan yang serupa atau bahkan sesuatu yang lebih baik darinya.

Demikian pula, apabila Allah melimpahkan kepadanya rahmat/kemudahan setelah dirundung kesulitan maka diapun terlalu gembira dan berbangga diri. Dia mengira bahwa keadaan itu akan terus-menerus dialaminya, sampai-sampai dia berkata, “Semua bencana telah luput dariku.” Ini menunjukkan dirinya terlalu gembira dan berbangga-bangga. Dia merasa senang dengan suatu karunia/nikmat yang cocok dengan hawa nafsunya. Dia merasa angkuh dengan kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Itulah yang membuatnya semakin congkak, sombong, ujub akan diri sendiri dan angkuh kepada orang lain, suka merendahkan dan melecehkan mereka. Aib manakah yang lebih parah daripada sifat semacam ini?

Inilah karakter yang melekat pada jiwa manusia kecuali orang-orang yang diberi taufik oleh Allah untuk bersabar ketika mendapatkan musibah -sehingga tidak berputus asa- dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat -sehingga dia tidak bersikap angkuh- dan dia pun mengerjakan amal-amal salih yang wajib maupun yang sunnah. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan mendapatkan balasan pahala yang sangat besar berupa surga beserta segala macam kenikmatan yang diinginkan jiwa manusia (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 396. cet. Dar al-Hadits)

Contoh sosok manusia yang larut dengan ‘keberhasilan’nya dan angkuh dengan kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya adalah Qarun. Dia berkata dengan nada sombong dan angkuh, sebagaimana diceritakan dalam ayat (yang artinya), “Dia (Qarun) berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.’…” (QS. al-Qashash: 78).

Dia mengira bahwa dirinya memang orang yang berhak dan paling pantas untuk mendapatkan itu semua. Sehingga dia pun menolak mentah-mentah nasehat dari kaumnya untuk tidak dihanyutkan oleh kesenangan dunia sehingga melupakan urusan akherat. Dalam pandangannya, kekayaan materi itulah bukti pemuliaan dan kecintaan Allah kepada dirinya. Allah tidak tinggal diam terhadap hal ini. Allah membantah persangkaan Qarun ini dengan firman-Nya (yang artinya), “Tidakkah dia (Qarun) tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta…” (QS. al-Qashash: 78). (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 684. cet. Dar al-Hadits)

Berbeda halnya dengan sosok yang mengerti akan dirinya dan memahami keagungan Rabbnya. Maka dia akan mengakui bahwa nikmat yang dia peroleh adalah ujian dari Rabbnya. Sehingga dia pun merasa khawatir kalau-kalau tidak bisa menunaikan syukur kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Inilah keletadanan yang dicontohkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Maka ketika dia (Sulaiman) melihat Singgasana (Ratu Balqis) itu terletak di hadapannya, dia pun berkata; ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia besyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya Mahamulia.’.” (QS. an-Naml: 40). (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 662. cet. Dar al-Hadits)

Sekarang, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri; apakah kita termasuk pengikut keteladanan Sulaiman ‘alaihis salam ataukah pengekor kesesatan Qarun dan orang-orang yang sejalan dengannya. Wallahul muwaffiq. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Senin, 27 September 2010

Kejujuran pada bibit kacang ijo


Dikisahkan bahwa sebuah perusahaan telekomunikasi di Italia sedang mencari satu tenaga teknis untuk menangani salah satu departemen dari perusahaan tersebut. Begitu banyak yang datang melamar dan menjalani ujian tertulis.

Namun sesudah ujian tertulis ini, semua peserta diberi pekerjaan rumah, setiap orang diberi semangkok bibit kacang hijau untuk disemayamkan. Dan setelah jangka waktu yang diberikan setiap orang harus membawa pulang bibit kacang hijau yang telah tumbuh segar ke perusahaan tersebut. Siapa yang berhasil merawat kacang yang tumbuh paling segar akan memperoleh posisi pekerjaan yang dikejar banyak orang karena memberikan jaminan gaji yang tinggi tersebut.

Setelah jangka waktu yang diberikan itu para peserta ujian kembali lagi ke perusahaan sambil membawa bibit kacang hijau yang telah bertumbuh segar menghijau. Setiap orang memamerkan hasil usaha mereka dan dalam hati berharap bahwa ia akan memperoleh posisi yang bagus tersebut. Nampak seketika bahwa team penilai akan sulit memutuskan siapa yang jadi pemenangnya karena semua membawa bibit kcang yang telah bertumbuh itu sama bagus dan sama segarnya.

Setelah diabsensi ternyata satu orang tidak muncul di tengah para peserta. Sang manager perusahaan lalu menelpon pelamar yang tak hadir itu dan menanyakan alasan ketidak-hadirannya. Orang tersebut dengan penuh penyesalan serta rasa bersalah memberikan alasan ketidak-hadirannya saat ini. Ia mengatakan bahwa bibit yang diberikan itu hingga saat ini belum bertumbuh pada hal ia sudah berusaha memberi pupuk, memberi air yang cukup. Semua persyaratan yang dibutuhkan agar bibit kacang hijau bertumbuh subur telah dipenuhinya, namun anehnya, bibit tersebut seakan berkepala keras tak mau bertumbuh.

"Aku berpikir bahwa aku pasti gagal untuk memperoleh posisi dalam perusahaan telekomunikasi ini. Karena itu saya memutuskan untuk tidak datang hari ini ke perusahaan bapak." tetapi justru di saat ketika orang itu akan meletakan gagang telephonya, sang manager memberikan kata-kata yang sungguh di luar dugaannya;
"Engkaulah satu-satunya yang diterima perusahaan kami, Profisiat!" Orang itu heran dan kaget tak percaya.

Sesungguhnya, bibit kacang hijau yang dibagikan kepada para peserta tersebut adalah bibit yang telah diproses sehingga tak akan bisa bertumbuh lagi. Dengan begitu Perusahaan akan dengan mudah mengetahui peserta mana yang jujur. Dan ternyata hanya seorang yang yang tak mampu membawa bibit kacang yang telah tumbuh. Dan dialah orang yang dipilih itu.
"Inilah prinsip kami, nilai moral dalam pekerjaan lebih ditinggikan ketimbang keberhasilan dalam bekerja." Demikian sang manajer menjelaskan.
Seperti kutipan ‘John Wooden’ Beri perhatian lebih pada karakter dari pada reputasi, karena karakter adalah diri sebenarnya, sementara reputasi hanya anggapan orang tentang anda.

Dikutip dari message from dr.Andhyka P Sedyawan

Minggu, 26 September 2010

Kisah anak manusia



Terkisah Seorang petani kaya mati meninggalkan kedua putranya. Sepeninggal ayahnya, kedua putra ini hidup bersama dalam satu rumah. Sampai suatu hari mereka bertengkar dan memutuskan untuk berpisah dan membagi dua harta warisan ayahnya. Setelah harta terbagi, masih tertingal satu kotak yang selama ini disembunyikan oleh ayah mereka.

Mereka membuka kotak itu dan menemukan dua buah cincin di dalamnya, yang satu terbuat dari emas bertahtakan berlian dan yang satu terbuat dari perunggu murah. Melihat cincin berlian itu, timbullah keserakahan sang kakak, dia menjelaskan, "Kurasa cincin ini bukan milik ayah, namun warisan turun-temurun dari nenek moyang kita. Oleh karena itu, kita harus menjaganya untuk anak-cucu kita. Sebagai saudara tua, aku akan menyimpan yang emas dan kamu simpan yang perunggu." Sang adik tersenyum dan berkata, "Baiklah, ambil saja yang emas, aku ambil yang perunggu." Keduanya mengenakan cincin tersebut di jari masing-masing dan berpisah.

Sang adik merenung, "Tidak aneh kalau ayah menyimpan cincin berlian yang mahal itu, tetapi kenapa ayah menyimpan cincin perunggu murahan ini?" Dia mencermati cincinnya dan menemukan sebuah kalimat terukir di cincin itu: INI PUN AKAN BERLALU. "Oh, rupanya ini mantra ayah…," gumamnya sembari kembali mengenakan cincin tersebut.

Memanglah Kakak-beradik tersebut mengalami jatuh-bangunnya kehidupan. Namun Ketika panen berhasil, sang kakak berpesta-pora, bermabuk-mabukan, lupa daratan. Ketika panen gagal, dia menderita tekanan batin, tekanan darah tinggi, hutang sana-sini. Demikian terjadi dari waktu ke waktu, sampai akhirnya dia kehilangan keseimbangan batinnya, sulit tidur, dan mulai memakai obat-obatan penenang. Akhirnya dia terpaksa menjual cincin berliannya untuk membeli obat-obatan yang membuatnya ketagihan.

Namun berbeda dengan Sang Adik, ketika panen berhasil diapun mensyukurinya, tetapi dia teringatkan oleh cincinnya: INI PUN AKAN BERLALU. Jadi dia pun tidak menjadi sombong dan lupa daratan. Ketika panen gagal, dia juga ingat bahwa: INI PUN AKAN BERLALU, jadi ia pun tidak larut dalam kesedihan. Hidupnya tetap saja naik-turun, kadang berhasil, kadang gagal dalam segala hal, namun dia tahu bahwa tiada yang kekal adanya. Semua yang datang, hanya akan berlalu. Dia tidak pernah kehilangan keseimbangan batinnya, dia hidup tenteram, hidup seimbang, hidup bahagia.

Apa yang dapat Anda petik dari cerita diatas?
Ternyata Susah dan senang menyediakan perlawanan yang diperlukan untuk mengembangkan kekuatan dalam mengatasi hambatan-hambatan yang besar. Kekuatan-kekuatan ini terdiri dari percaya diri, ketekunan, dan yang sangat penting, Pengendalian diri serta pengetahuan diri.

Allah akan mengambil apa yang kau miliki dan merubahnya menjadi sesuatu yang jauh lebih baik, sesuatu yang jauh lebih bernilai.
Dia akan membuatnya sempurna dan mengembalikannya padamu.
Yakinlah bahwa Allah itu ada. Maka selalulah bersandar PadaNYA.
Dia ada dimanapun, tapi kau harus menggali ke dalam dirimu dan menemukan Dia di sana.

Sahabat, mulai sekarang ambil penuh kendali atas hidup Amazing anda. kuasai diri Anda dan kendalikan menuju tempat yang jauh lebih baik, dan semakin baik setiap harinya. Ingatlah bahwa orang yang paling berkuasa adalah orang yang mampu menguasai dirinya sendiri. Semangattt!!

Dikutip dari message from dr.Andhyka P Sedyawan

Minggu, 05 September 2010

FSQ FE Unlam Mengucapkan,,,

Raihlah Keutamaan di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan!


Lailatul Qadar adalah suatu malam yang penuh dengan keutamaan dan barokah. Allah Subhanallahu wa Ta’ala Yang Maha Pemberi barakah telah menjelaskan hal itu dalam surat Al Qadr (artinya):

“Dan tahukah kamu apa malam lailatul qadar itu?. Yaitu suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah para malaikat dan ruh (malaikat Jibril) dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 2-5)

Sehingga malam itu pun dipenuhi barakah yang berlimpah ruah, sebuah ibadah yang dilakukan pada malam itu dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih baik daripada ibadah yang dilakukan selama seribu bulan selain Ramadhan. Tentu keutamaan yang amat besar ini akan membuat hati yang jernih dan akal yang sehat terdorong dan berharap untuk dapat meraihnya.
Kapan terjadinya lailatul qadar?

Malam lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, sekali dalam setahun. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, jika ada diantara kalian lemah, maka jangan sampai luput dari tujuh malam yang tersisa (terakhir).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Al-Imam Muslim yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

… فَاطْلُبُوهَا فِى الْوِتْرِ مِنْهَا
…. maka carilah pada malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari: “Pendapat yang paling kuat tentang terjadinya lailatul qadar adalah pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan terjadinya tidak menetap pada malam tertentu dalam setiap tahunnya.”

Adapun memastikan suatu malam dari bulan Ramadhan bahwa ia adalah malam lailatul qadar (di tahun tersebut), maka membutuhkan dalil (yang shahih dan jelas) dalam penentuannya. Namun malam-malam ganjil pada sepuluh terakhir itu hendaknya lebih dijaga dibanding selainnya, dan malam keduapuluh tujuh hendaknya lebih dijaga lagi daripada malam-malam ganjil selainnya yang dimungkinkan bertepatan dengan lailatul qadar. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah li Al-Buhuts wa Al-Ifta`)

Apa yang seharusnya dilakukan di malam tersebut?

Pertama: Bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir melebihi kesungguhan pada malam-malam selainnya, dalam hal shalat, membaca Al-Qur’an, berdo’a, dan ibadah-ibadah yang lainnya. ‘Aisyah s menceritakan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
“Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam jika memasuki sepuluh malam terakhir, beliau menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya, serta mengencangkan tali pinggangnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan Muslim: “Dahulu beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir yang tidak sama kesungguhannya dengan malam-malam selainnya.”

Kedua: Menegakkan shalat tarawih dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Jama’ah, kecuali Ibnu Majah).

Ketiga: Membaca do’a sebagaimana yang diajarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kepada ‘Aisyah radliyallahu ‘anha. ‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku menjumpai suatu malam bahwa itu adalah malam lailatul qadar, apa yang harus aku baca pada malam itu? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Ucapkanlah (berdo’alah):

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفوَ فَاعْفُ عَنِّي .
“Ya Allah! Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf Maha Mulia lagi suka memaafkan, maka maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi)

I’tikaf

I’tikaf adalah usaha untuk senantiasa menetap di masjid disertai dengan menyibukkan diri dengan ibadah (seperti menegakkan shalat-shalat sunnah disamping shalat lima waktu, memperbanyak membaca Al Qur’an, memperbanyak dzikir, do’a, dan istighfar), meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat (seperti mengobrol, cerita, senda gurau dan semisalnya), dan tidak keluar dari masjid selama i’tikaf, kecuali bila ada keperluan yang mengharuskan untuk keluar (seperti buang hajat atau semisalnya).

‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Yang disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak berta’ziyah, tidak menggauli dan mencumbu istrinya, serta tidak keluar dari masjid untuk sebuah kebutuhan kecuali perkara yang mengharuskan untuk keluar.”

Padahal dalam agama Islam, menjenguk orang sakit dan berta’ziyah keduanya merupakan perkara yang sangat dianjurkan. Namun demikian, ia menjadi gugur ketika menjalankan ibadah i’tikaf di masjid. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya perkara i’tikaf tersebut. Sehingga orang yang beri’tikaf hendaknya bersungguh-sungguh menggunakan waktunya untuk bermunajat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Ini merupakan sebuah sunnah (ibadah) yang perlu kita hidupkan dan semarakkan, karena hampir-hampir sunnah ini menjadi asing ditengah-tengah umat Islam. Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam selalu beri’tikaf di bulan Ramadhan.

Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf pada setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari, dan pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Al Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Zakatul Fitri (Zakat Fitrah) dan Takarannya

Zakat Fitrah diwajibkan atas setiap muslim, baik merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, sebagaimana pernyataan shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak 1 sha` kurma atau 1 sha` sya’ir (gandum), (dan diwajibkan) baik atas orang merdeka ataupun budak, laki-laki ataupun perempuan, dewasa ataupun anak-anak.”Al-Bukhari dan Muslim) (HR.

Takaran Zakat Fitrah adalah 1 (satu) sha` (2,5kg). Sebagian ulama berpendapat 1 sha` sama dengan 3 kg makanan pokok, seperti beras.

Manfaat Zakat Fitrah

Manfaat zakat fitrah adalah:

1. Sebagai pembersih atau penyuci jiwa orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak ada manfaatnya dan perkataan yang keji.

2. Sebagai subsidi makanan bagi orang-orang miskin

Shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci jiwa orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak ada manfaatnya dan perkataan yang keji dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat Id, maka terhitung sebagai zakat yang diterima (sah sebagai zakat fitrah, red), dan barangsiapa menunaikannya setelah selesai shalat Id, maka itu adalah shadaqah dari shadaqah-shadaqah biasa.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Kapan Zakat Fitrah Dibayarkan?

Zakat Fitrah dibayarkan pada hari raya Idul Fitri sebelum shalat Id dilaksanakan, atau sehari/dua hari sebelum Idul Fitri. Oleh karenanya dinamakan Zakat Fitrah karena pembayarannya pada hari Idul Fitri (ini adalah waktu yang paling utama), atau dekat dengan Idul Fitri. Dahulu, setelah umat Islam semakin banyak, sebagian para shahabat membayarkan Zakat Fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri, sebagaimana disebutkan dalam atsar Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Kapan saja zakat fitrah dibayarkan pada salah satu dari waktu-waktu tersebut, maka terhitung sebagai zakat fitrah yang sah. Sebagaimana dalam hadits di atas: “Barangsiapa membayarnya sebelum shalat Id, maka ia adalah zakat yang diterima (sah sebagai zakat fitrah, red).”

Kepada Siapa Zakat Fitrah Diberikan?


Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS, At Taubah :60 )

Bolehkah Zakat Fitrah dibayar dengan uang tunai?


Mayoritas ulama tidak membolehkan zakat fitrah dibayar dengan uang, karena yang demikian tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sementara sangat memungkinkan di masa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam zakat fitrah dibayar dengan uang (dinar atau dirham). Namun, beliau memerintahkan untuk membayar Zakat Fitrah dengan kurma atau sya’ir (gandum, bahan makanan pokok di masa itu). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin).Wallähu a’lam bish showäb.

Penutup

Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala menerima amalan-amalan ibadah kita semua, mengampuni dosa-dosa kita semua, dan menggolongkan kita kepada golongan orang-orang yang bertaqwa dengan shaum Ramadhan yang kita laksanakan. Amïn Yä Mujïbas Sä`ilïn..

Rabu, 01 September 2010

FSQ FE Unlam present

FSQ FE UNLAM Mengucapkan

Popular Posts

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites