Jumat, 22 Januari 2010

AC-FTA Berdampak Serius Pada Petani dan Nelayan

JAKARTA-MI: Pelaksanaan ASEAN China Free Trade Agreement (AC-FTA) tidak hanya menjadi kekhawatiran kaum industrilais. Mereka yang setiap hari bergulat dengan ladang dan laut juga merasakan dampak yang tidak bisa diremehkan.

Dari sektor kelautan dan perikanan, kedudukan nelayan dalam negeri terancam. Pasalnya, China identik dengan kejahatan di sektor perikanan. Selain itu, komoditas hasil laut yang dihasilkan Indonesia dan China cenderung sama.

"Dengan masuknya China di FTA, lebih parah dampaknya. China itu identik degan kriminal perikanan. Sampai dulu dia diembargo oleh AS dan EU. Banyak perusahaan nakal. Komoditas kita juga sama," kata Ketua Pokja Perikanan Aliansi Desa Sejahtera Riza Damanik, di Jakarta, Kamis (14/1).

Kesamaan tersebut, menurut Riza, berakibat pada perubahan pilihan konsumsi masyarakat dari yang sebelumnya membeli produk dalam negeri menjadi memilih produk impor. Terlebih, barang China, apapun itu jenisnya, cenderung lebih murah. Murahnya harga produk China tersebut, terjadi karena jauh lebih tingginya biaya yang diperelukan untuk budidaya ikan dalam negeri. Tingginya biaya budidaya tersebut disebabkan pakan yang masih impor. Indonesia belum memiliki pabrik pakan ikan sendiri.

"Ini yang sebabkan biaya dan harga mahal. Kalau mau bersaing, bnagun pabrik pakannya, jangan Cuma infrastruktur bangun sana snini tapi pakan masih dari Negara lain," katanya.

Riza mengungkapkan, mestinya pemerintah belajar dari FTA sebelumnya yang dilakukan dengan Jepang. Dari kerjasama yang dimulai tahun 2008 lalu tersebut, Indonesia tidak mendapatkan keuntungan lebih namun justru kerugian. Dengan Jepang, Indonesia mengekspor ikan mentah. Terjadi peningkatan volume ekspor ikan mentah ke Jepang semenjak pelaksanaan FTA, namun tidak demikian dengan nilainya. Nilai ekspor mengalami penurunan, hingga US$2 sampai US$3 per kilogram.

"Jika konsekuensi FTA sekarang masih kirim yang mentah, kita akan terus dapatkan kerugian. Tidak ada nilai tambah dari petani dan kekayaan laut kita," ujarnya.

Ia juga menegaskan, bahwa tahun ini bukan merupakaan saat yang tepat untuk berekspansi, melainkan membangun pondasi.
Sementara Koordinator Nasional Aliansi Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan ACFTA juga semakin menggilas para petani di pedesaan. Sejak Early Harvest Program dilakukan, pada kenyataannya bukan produk pertanian Indonesi yang membanjiri China melainkan produk pertanian China yang ramai di pasar Indonesia.

"Kalau yang kuat seperti kakao, kelapa sawit, dan kopi mungkin masih bisa berkembang. Tapi kalau yang lain, semakin dilibas," katanya.

Tejo mencontohkan, saat ini kita bisa menemukan bawang putih China di sentra produksi bawang dalam negeri. Impor sagu dari China juga tercatat sangat besar mencapai US$3 juta per bulan.

"Itu belum lagi tanaman lain. Ini ancaman cukup serius bagi kita," katanya. (DU/OL-7)

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites